Tuesday, September 08, 2009

Aku Kirimkan Kasih Sayangku lewat Rengkuhan


ANAK sulungku, Mutiara Relung Sukma, tahun ini lulus sekolah dasar
(SD) dan harus daftar ke sekolah menengah pertama (SMP). Dia pilih
daftar ke sekolah negeri. Pilihan pertama SMP 8 (rayon seberang),
pilihan kedua SMP 29 (satu rayon). Sebagai bapak, aku manut-manut
saja. Sebagai bapak, aku lepas dia berjuang dengan tenaga dan
kekuatan sendiri. Sebagai bapak, aku tak berbuat apa-apa (bahkan
untuk sekadar bingung atau takut Tia tak diterima di sekolah negeri).
Padahal, di kantor dan lingkungan tempat tinggal, para orang tua
kelabakan ke sana kemari, "berusaha keras" agar anak mereka diterima
di sekolah impian. Lama-lama, terus terang, aku bingung karena kenapa
aku kok tidak bingung.

Aku antar Tia daftar. Aku antar Tia tes. Aku antar Tia lihat
pengumuman tanggal 13 Juli yang tertunda berjam-jam, dari pagi hingga
malam, itu. Lalu aku temani dia mencermati daftar nama. Di SMP 8, tak
ada. Di SMP 29 begitu juga. Kukabari istriku dan di ujung telepon
sana dia bilang, "Ya sudah, pulang. Besok daftar ke SMP
Muhammadiyah." Malam itu, sekitar pukul 21.30, kami pulang dalam
bungkam, kecuali Biru yang ngoceh melulu. Dia tak tahu, kakaknya
sedang sedih bukan main. Dia tak tahu.

Di jalan, aku bertanya, "Rasanya gimana, Nduk?" Tia diam. Tak
menjawab. Begitu pula ketika kami sampai di rumah. Saat aku asyik di
depan komputer di kamar kerja, dia masuk, duduk di belakangku. Aku
bertanya lagi, "Rasanya gimana, Nduk?" Dia diam, lalu... "Aku tidur
dulu ya, Pak..." sambil mencium pipiku seperti biasa.

Dia masuk dan menutup pintu kamar. Aku yakin, dia akan segera
menumpahkan segala yang menyesak di dadanya. Aku yakin. Dan makin
yakin ketika aku mengetuk pintu kamarnya. "Ya, tolong bantal dan
guling Biru!" Dia menyerahkan bantal dan guling itu setelah mematikan
lampu kamar dan berlindung di balik pintu. Sungguh aku yakin, dia
sedih sekali.

Aku tak bisa menulis malam itu. Aku tak sedih Tia tak diterima di
sekolah negeri. Sama sekali tak sedih. Aku sedih, bahkan jauh lebih
sedih, karena Tia sedih. Aku tiba-tiba merasa terlalu keras, terlalu
kejam, karena membiarkan dia "berjuang sendiri". Kenapa aku tak
seperti bapak-bapak yang lain (termasuk teman sekantor) yang "pontang-
panting" minta tolong ke sana kemari. Ke orang ini dan itu? Kenapa
aku tak minta tolong tetangga dan kenalan yang guru di SMP 8 dan SMP
29? Kenapa aku berikan pelajaran dan pengalaman pahit untuk Tia yang
baru saja lulus sekolah dasar?

Esok paginya, Kami 24 Juli, begitu bangun aku bersegera mengetuk
pintu kamar Tia. Aku bangunkan dia. Setelah shalat subuh, aku ajak
dia jalan-jalan. Dan sambil jalan-jalan itu, kami berbincang tentang
kegagalan. Kenapa dan bagaimana aku dan dia menyikapinya. "Kamu sedih
kan Nduk?" Dia mengangguk. "Kamu kecewa?" Dia mengangguk lagi. "Juga
malu?" Lagi-lagi dia mengangguk. "Bapak juga sedih, Nduk. Tapi nggak
kecewa, apalagi malu. Jalan masih panjang. Di SMP mana pun, kini kamu
punya kesempatan untuk menjadi lebih baik. Belajar secukupnya, main
secukupnya, tidur secukupnya. Jangan ada yang kurang, jangan ada yang
berlebihan..."

Tia diam. Entah paham entah tidak. Aku rengkuh bahunya. Aku kirimkan
kasih sayangku yang jauh melebihi batas sekolah negeri dan swasta
melalui pelukan yang aku usahakan menenteramkan. Aku cium dia. Aku
goda dia biar senyum manisnya (walau belum mandi) mengembang. Pagi
itu, di sepanjang jalan seputar perumahan, kami begitu khusuk
menikmati pautan hati.

Aku berharap, sangat berharap, "kegagalan" ini berbuah kebaikan bagi
kami. Tidak sekarang. Tidak sekarang. Tapi kelak ketika Tia menjadi
pribadi kuat dan mandiri. Tak mudah ikut arus. Tak mudah tergoda
untuk melakukan sesuatu di luar batas "kewajaran". Amin.


by Budi Maryono (Siluet Bulan Luka)

No comments: