Saturday, November 29, 2008

Masjid Kubah Emas

Catatan :
Ini feature yang aku tulis beberapa bulan lalu dan dimuat di rubrik "Jalan-Jalan" di harian Suara Merdeka (http://www.suaramerdeka.com/). Kalau aku nulis tentang Masjid Kubah Emas, bukan berarti aku 100% setuju dengan proyek megah tersebut, secara ideologis. Ada hal positif dan negatifnya, pro-kontra.
Karena udah beberapa bulan lalu, mungkin kondisinya sudah berbeda. Lalu lintas kemacetannya, keramaian pengunjungnya dsb.

KALAU disebut masjid terbesar di Indonesia, hampir semua orang akan menyebut satu nama; Istiqlal. Ya, masjid yang berdiri di jantung ibukota Jakarta
itu oleh presiden RI pertama, Bung Karno memang dibangun untuk mewujudkan obsesinya untuk memiliki sebuah masjid yang terbesar dan termegah se Asia Tenggara.
Tapi, seperti bangunan pencakar langit tertinggi dunia yang rekornya selalu terpecahkan, reputasi Istiqlal sebagai yang terbesar dan termegah kini mulai tergeser. Tidak perlu di tingkat Asia Tenggara. Di tanah air sendiri pun kini sudah banyak berdiri masjid berukuran besar dengan arsitektur modern yang selama ini hanya dapat disaksikan di gedung-gedung modern seperti hotel, mal dan pusat perkantoran. Bahkan masjid-masjid megah itu tidak hanya didominasi Jakarta, tetapi juga tersebar di kota-kota lain seperti Makassar, Banda Aceh, Tasikmalaya dan Semarang,
Namun yang sekarang paling menghebohkan adalah munculnya sebuah masjid berkubah emas di satu desa Meruyung, Kota Depok, Jawa Barat. Baru mendengar ada masjid berlapis emas saja pasti membuat orang penasaran. Apalagi jika sudah melihat langsung keindahan dan kemegahan arsitekturnya. Pasti akan mengundang decak kagum dan membayangkan berapa triliun uang yang dikeluarkan untuk membangun semua itu.
Rasa penasaran itulah yang belakangan membuat ratusan, bahkan ribuan umat Islam dari berbagai penjuru daerah, baik Jawa maupun luar Jawa, ramai-ramai mendatangi masjid di desa kecil tersebut. Setiap hari, terutama pada Sabtu dan Minggu, puluhan busdan mobil pribadi berpelat nomor luar
kota
yang mengangkut ratusan anggota pengajian atau majelis taklim berjejal memasuki
kota
Depok. Keadaan ini memperparah lalu lintas jalan Depok – Meruyung berjarak 7 kilometer yang sedang dikepung kemacetan karena adanya pembangunan jembatan layang dan banyaknya jalan berlobang yang belum ditambal karena musim hujan.
Jumlah pengunjung makin bertambah sejak masjid di Kompleks Islamic Center Dian Al-Mahri itu diresmikan dan dibuka untuk umum pada hari raya Idul Adha 31 Desember 2006. Apalagi setelah Pondok Pesantren Daarut Tauhid pimpinan Aa Gym di Geger Kalong,
Bandung
kehilangan magnet menyusul poligami yang dilakukan dai kondang tersebut. Anggota majelis taklim yang sebelumnya mengidolakan Aa pun seperti menemukan tempat pelarian baru sebagai tempat wisata rohani. Ironisnya, Aa Gym-lah yang diundang pemilik yayasan, Hj Dian Juriah Maimun Al-Rasyid (58) untuk mendampingi meresmikan masjid ini akhir tahun lalu.
Gagasan untuk membangun masjid megah berkubah emas ini lahir dari sang pemilik setelah menunaikan ibadah hajinya yang ke-34. ‘’Setelah ibadah haji itu saya seperti begitu saja mendapat hidayah dari Allah. Begitu juga lokasinya, inspirasi dating begitu saja,’’ tutur wanita asal Serang, Banteng ini. Gagasan itu bisa diwujudkan, karena suaminya, Hj Maimun yang berasal dari
Padang
adalah pengusaha minyak di Arab Saudi. Konon pembangunan proyek ambisius ini juga mendapat dukungan dana dari Timur Tengah. Tapi Hj Dian menampik itu.
‘’Saya membangun dan memelihara masjid ini semuanya dari uang pribadi. Tidak utang ke bank, atau pihak mana pun. Juga tidak meminta sumbangan,’’ tepisnya.
Jadi jangan heran jika saat shalat di masjid ini jamaah tidak melihat adanya kotak amal (tromol) di sekitar masjid, seperti masjid pada umumnya. Malahan pada berbagai kegiatan majelis yang digelar sebelum masjid selesai dibangun, kepada jamaah yang hadir tuan rumah membagi-bagikan bingkisan berisi sembako.
Keinginannya untuk membangun masjid kubah emas kian mantap setelah Hj Dian dan suami yang sehari-hari tinggal di Petukangan, Jakarta Selatan, berkenalan dengan seorang prinsipal desainer bernama Uke G Setiawan. Merasa menemukan orang yang cocok diserahi perencanaan proyek menantang itu, Hj Dian pun segera mencari tanah di kelurahan Meruyung..
Jayadih (62), mantan lurah Meruyung bercerita, ‘’Bu Dian datang kepada saya tahun 1996, mencari tanah untuk pembangunan masjid. Kemudian secara bertahap tanah di sekitarnya terus dibelinya,’’ kata Jayadih yang kini duduk sebagai koordinator pengajian di Yayasan tersebut.
Begitu tanah diperoleh, pada Desember 1998 dimulailah perkerjaan perencanaan tahap pertama. Pada 2001 masjid seluas 7200 meter persegi itu mulai dikerjakan. Dan dalam waktu enam tahun, proyek besar tersebut berhasil dirampungkan. Selain induk masjid, saat ini juga telah berdiri gedung auditorium yang hampir sama luasnya dengan masjid, juga rumah-rumah penginapan untuk pengunjung dan peserta pengajian. Ke depan, kompleks Islamic Center yang berada di atas areal tanah seluas 80 hektare lebih rencananya juga akan dilengkapi dengan universitas, rumah sakit dan sekolah perawat.
Tidak terlalu sulit sebenarnya mencapai lokasi masjid berkubah emas ini. Letaknya di pinggir jalan raya antara Depok – Cinere. Pengunjung yang datang dengan kendaraan roda empat atau Kereta Rel Listrik (KRL) Jabotabek dari arah Pasar Minggu dan
Bogor
bisa mengambil rute melewati pusat Kota Depok. Bagi yang menggunakan angkutan umum, satu-satunya pilihan adalah angkot D-03 jurusan Depok – Parung. Cukup dengan membayar ongkos Rp 2.500, turun di pertigaan bernama unik; Parung Bingung. Setelah itu nyambung lagi dengan angkot D-102 jurusan Parung Bingung – Lebak Bulus. Ongkosnya lebih murah lagi, Rp 1.000, karena jaraknya hanya sekitar 1,5 kilometer.
Meski jarak dari terminal Depok ke lokasi yang hanya 7 kilometer, karena sempitnya jalan dan banyaknya aspal berlobang yang belum dibetulkan waktu yang ditempuh mencapai setengah jam. Terlebih pada hari Sabtu dan Minggu. Padatnya lalu lintas di ruas itu, apalagi jika pada waktu yang bersamaan ustadz kondang Arifin Ilham yang tinggal di ruas jalan yang sama menggelar majelis dzikir, kendaraan hanya bisa berjalan merayap. Bisa-bisa lebih dari satu jam baru bisa sampai ke tujuan.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum berangkat. Jangan memotret di dalam masjid atau membawa anak berusia di bawah 10 tahun, karena mereka bakal dilarang masuk ke Kompleks Islamic Center. Tidak jelas mengapa ada aturan aneh yang membatasi usia orang memasuki masjid, sedangkan di Masjidil Haram saja orang bebas thawaf mengelilingi Kakbah sambil memanggul anaknya di atas pundak. Kabar yang terdengar, ketentuan tersebut bersifat sementara demi ketertiban karena terbatasnya askar atau petugas keamanan yang berjaga di lingkungan masjid.
Terlepas dari parahnya kemacetan, keberadaan masjid milik Hj Dian ini memberikan nafkah tambahan bagi warga sekitar. Di samping mempekerjakan penduduk sebagai tenaga kebersihan, satpam dan penjaga masjid, banyak warga sekitar yang mengais rejeki dengan membuka warung makan, tempat penitipan kendaraan, sampai pedagang kaki lima.

Pengalaman Masuk Ka'bah

Salah satu obsesi umat Islam yang tengah menunaikan ibadah di Tanah Suci, khususnya Masjidil Haram, adalah bisa mencium Hajar Aswad. Batu hitam - konon dari Surga - yang tertanam di sudut Kakbah. Untuk mendapatkan kenikmatan ruhani itu perlu perjuangan fisik yang cukup berat, karena harus siap berebut dan saling dorong dengan orang-orang ribuan orang yang ingin melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana rasanya jika kita tidak saja bisa mencium Hajar Aswad, tetapi juga berkesempatan masuk ke dalam Kakbah. Hal yang tidak sembarang orang - termasuk warga Mekkah sendiri - mempunyai kesempatan untuk merasakannya ?

Alhamdulillah, atas berkah dari Allah, saya pernah merasakan kenikmatan itu ketika mendampingi Presiden Soeharto sebagai tamu Kerajaan Arab Saudi, menunaikan ibadah umrah sebelum kembali ke tanah air dari serangkaian kunjungan kenegaraan pada akhir Oktober 1995.
Cerita di bawah ini adalah kliping tulisan saya yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di bawah judul ”Pengalaman Masuk dan Shalat di Dalam Kakbah". Selamat membaca..


SETELAH penerbangan yang melelahkan selama tigabelas setengah jam dari bandara Johan Adolf Pengel, Pramaribo, Suriname, Senin (30/10) pagi pukul 08.30, roda pesawat Garuda DC-10 yang kami tumpangi mulai menyentuh landasan bandara Jeddah. Tepuk tangan membahana di dalam pesawat, menyukuri kami telah tiba dengan selamat di pintu gerbang menuju kota Mekah, setelah selama dua pecan mengikuti perjalanan Presiden Soeharto menghadiri KTT XI GNB di Kolombia, HUT 50 tahun PBB di New York, kunjungan ke Suriname, dan diakhiri umrah di Tanah Suci.
Saat pesawat melakukan taxiing, berjalan lambat menuju tempat parker, dari jendela terlihat sebuah bangunan terbuka beratap tenda-tenda putih. Satu-satunya bangunan yagn berdiri di antara pasir panas di tepi landasan adalah tempat penampungan sementara jamaah haji sebelum diangkut ke Tanah Suci.
Beberapa saat setelah berhenti, kami, para wartawan dan belasan anggota Paspampres, dipersilahkan lebih dulu menuruni tangga pesawat menuju sebuah gedung megah. Berbeda dari suhu di luar yang terasa panas meski masih pagi, di ruang berukuran sekitar 20×20 meter itu AC terasa sejuk. Lantainya beralaskan karpet beludu cokelat, sedangkan di dinding-dindingnya yang tinggi puluhan lukisan besar bercerita tentang keagungan budaya Arab.
Ketika saya amati dengan cermat, ternyata ia bukan lukisan biasa. Lukisan itu dibuat dari serpihan kaca atau keramik berukuran 0,5×1 cm yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah lukisan mahakarya.
Umrah Dulu
Seperempat jam di ruangan itu kami manfaatkan untuk berfoto-roto sebelum minibus Konjen RI di Jeddah menjemput kami. Para wartawan didrop di Holiday Inn, 200 m dari guest house tempat rombongan Presiden menginap.
Kami tak sempat berisitirahat lama. Karena setelah pembagian gamar, jam 12.00 langsung dibrifing petugas Konjen tentang tatacara menunaikan ibadah umrah, termasuk bagaimana mengenakan kain ikhram. Wartawan memang diberikan kesempatan lebih dulu menunaikan umrah, dengan harapan malamnya bisa mengikuti umrah Presiden sambil meliput.
Pukul 14.00, setelah semua mengerjakan salat sunah di kamar masing-masing, kami berangkat menuju Mekah lengkap dengan pakaian ikhram. Jarak 75 km Jeddah – Mekah kami tempuh dalam waktu satu setengah jam. Sepanjang perjalanan, sembari menyaksikan pemandangan alam Negara itu kami tak henti-hentik membaca talbiyah.
Rombongan tiba di Tanah Suci tepat waktu asar. Setelah menitipkan tas berisi pakaian ganti di sebuah hotel di depan Masjidil Haram, kami bersama-sama menuju rumah Allah untuk sembahyang asar. 23 wartawan yang ikut dibagi dua kelompok, yang masing-masing dipandu seorang muthawif dari Konjen.
Selesai shalat asar, kami mulai melakukan thawaf dari batas sudut Hajar Aswad. Sebenarnya kami ingin mengawalinya dengan mencium Hajar Aswad. Tapi karena benda sakral itu dikerubuti ratusan jamaah yang beradu otot untuk hal yang sama, niat kami urungkan.
Satu demi satu putaran kami lewatkan dengan menirukan doa thawaf yang dilafalkan muthawif atau membaca buku pegangan yang disediakan. Usai thawaf kami menuju bukit Safa untuk melakukan Sa’i, berlari-lari kecil antara Safa-Marwa yang melambangkan perjuangan Siti Hajar dalam upaya mendapatkan air minum untuk putranya Ismail yang kehausan di padang pasir. Sa’i pun kami akhiri dengan menggunting beberapa helai rambut sebagai tahalul.
Meskipun dengan selesainya tahalul semua rukun umrah telah terpenuhi, rasanya belum lengkap bila kesempatan beradai di Masjidil Haram tidak dimanfaatkan untuk mencium Hajar Aswad. Maka untuk menembus ribuan jamaah, saya mencoba mengikuti arus mereka sambil berangsur mendekati dinding kakbah.
Alhamdulillah. Sesampai di Rukun Yamani, saya bverhasil antre di antara puluhan jamaah. Hampir 20 menit saya berusaha mempertahankan posisi ini dengan berpegang erat pada tali kiswah, kain hitam penutup Kakbah. Sampai akhirnya tiba giliran mencium Hajar Aswad. Hanya beberapa detik itu terjadi. Sebab beberapa kepala yang sudah berada di depan Hajar Aswad begitu bernafsu mendorongkan mulutnya ke batu hitam itu.
Itu merupakan klimaks dari adu otot kami. Sebab berikutnya dengan leluasa saya bisa memperoleh tempat untuk berdoa di Multazam, meski tanpa berpegang kaki pintu kakbah seperti dilakukan orang-orang. Demikian pula tempat shalat di dekat Hijr Ismail.
Selesai umrah, sambil menunggu saat maghrib tiba yang tinggal setengah jam lagi kami manfaatkan untuk minum dan berwudhu dengan air zamzam yang tersedia di keran-keran dekat sumur. Memikirkan tentang sumur yang lahir dari jejakan kaki Nabi Ismail ini mengingatkan kita akan kebesaran Allah SWT. Betapa tidak. Sumur ini nyaris tidak sedetikpun berhenti diambil airnya. Bahkan jutaan umat Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia selalu membawa pulang berliter-liter air untuk dibawa pulang. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa sumur itu mulai mengering.
Kami baru kembali ke hotel untuk berganti pakaian lepas shalat magrhir, dan kembali lagi untuk shalat isya. Sambil menunggu kedatangan Presiden dan rombongan, kami berjalan di pertokoan sekitar Masjidil Haram untuk mencari sekedar oleh-oleh.
Rombongan Kepala Negara akhirnya datang pukul 21.00. Tapi sejak satu jam sebelumnya puluhan petugas keamanan Kerajaan Arab Saudi dikerahkan di lokasi. Mereka membuat pagar betis mulai dari gedung tempat tamu negara diterima hingga pintu utama Masjidil Haram.
Melihat rombongan Presiden hampir masuk Masjidil Haram, kami buru-buru menitipkan barang bawaan ke resepsionis hotel dan kembali dengan kamera. Celakanya kamera tak boleh dibawa masuk ke dalam. Karenanya saat Presiden mulai masuk melalui King Abdul Aziz Gate, kamera saya titipkan ke seorang teman. Karena terdesak waktu, saya tidak pedulu bahwa saya sudah kehilangan wudhu saat jalan-jalan tadi. Sebab jika sampai terlambat, saya khawatir tidak bisa ikut masuk, meski sudah dipekali tanda pengenal khusus rombongan kepresidenan bertuliskan R2.
Saat memasuki pintu Masjidil Haram, seluruh rombongan yang dipandu H Muhaimin dari Konjen RI di Jeddah langsung membaca doa; Allahumma antassalaam, waminkas salaam dst. Begitu Presiden mendekati kakbah, ratusan atau bahkan ribuan jamaah yang malam itu sedang melakukan thawaf “dibersihkan” untuk memberikan prioritas pada rombongan Tamu Negara. Alhasil, mereka hanya bisa berthawaf dari luar pagar betis, pada radius sekitar 7m dari kakbah.
Sebelum mengawali thawaf, Presiden Soeharto terlebih dulu mencium Hajar Aswad, diikuti Ibu Tien, Mbak Tutut, Indra Rukmana, Bambang dan Halimah Trihatmodjo serta cucu-cucu Presiden, baru dususul anggota rombongan lainnya. Menteri yang mengikuti thawaf kali ini adalah Menag Tarmizi Taher, Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Moerdiono.
Dari tujuh putaran thawaf, tercatat empat kali Presiden mencium Hajar Aswad. Setelah menyelesaikan thawafnya, mereka shalat dua rakaat dan berdoa sambil mencium kiswah di Multazam. Saat itulah sekitar sepuluh askar, satpamnya Masjidil Haram menyiapkan sebuah tangga terbuat dari kayu di bawah pintu kakbah. Tangga setinggi dua meter itu bentuknya mirip dengan tangga untuk menaiki pesawat terbang.
Mengetahui adanya tangga yang disiapkan untuk memasuki Kakbah, para jamaah yang tengah melakukan thawaf serentak menghentikan kegiatannya. Jumlah mereka yang berjubel di sisi pintu bangunan hitam makin lama makin bertambah banyak. Mereka makin terpaku saat empat petugas di puncak tangga bahu-membahu menyibakkan kain kiswah penutup pintu, yang agaknya cukup tebal dan berat.
‘’Allahu akbar !’’ begitu mulut para jamaah berteriak spontan ketika dari balik kain itu terlihat jelas pintu berlapis emas berukuran sekitar 1,5×4 meter berhias kaligrafi huruf Arab. Mereka makin histeris lagi ketika pintu setebal genggaman tangan orang dewasa itu dibuka, sekalipun yang tampak hanya ruang gelap tanpa penerangan. Sambil menangis histeris mereka berulangkali meneriakkn “Allahu akbar” dan “Subhanallah” seraya menepuk-nepuk kepalanya dan sesekali menengadahkan kedua telapak tangannya menghadap kakbah.
Dari bawah, seorang petugas membawa sebuah neon baterei diikuti sejumlah rekannya. Dengan penerangan darurat itu mereka membersihkan lantai kakbah dari debu sebelum akhirnya mempersilahkan Pak Harto dan rombongan mengikuti mereka masuk ke dalam. Rupanya tidak mudah mengatur rombongan yang jumlahnya tak lebih dari seratus orang ini untuk tidak berebut. Sampai-sampai Menlu Ali Alatas harus ditarik tanggannya dari atas agar bisa mencapai ujung tangga.
Tadinya kami pikir mereka hanya akan memberikan kesempatan kepada Presiden dan keluarganya, mengingat kapasitas ruang di dalam kakbah memang tidak memungkinkan untuk menampung seluruh rombongan sekaligus. Tetapi dari isyarat yang kami tangkap, para askar minta rombongan lain tenagn dan tidak berebut, karena semua yang memiliki tanda pengenal dari Konjen akan diberi kesempatan yang sama.
‘’Suwaiyya.. suwaiyya…. All of you will be gived chance to entrance,’’ kata seorang askar mencoba menjelaskan dalam bahasa Inggris sembari meraptkan jari-jari tangannya, meminta bersabar.
Sampai di sini perasaan saya jadi tidak menentu. Pertama, karena berarti saya juga akan memperoleh kesempatan yang jarang diperoleh jemaah mana pun. Kedua, karena saya justru dalam keadaan batal. Menit demi menit menunggu giliran tersebut saya terus dihantui pilihan; rugi besar bisa masuk ke dalam kakbah tetapi tidak bisa shalat di dalamnya, atau keluar untuk mengambil air wudhu dengan risiko tidak bisa masuk lagi ke dalam barisan.
Saya sempat bertanya kepada pembimbing umrah yang berdiri di samping apakah saya bisa bertayamum. Ia terdiam sejenak. Tetapi apa jawabnya kemudian ? “Kalau persoalannya tidak ada air, boleh saja tayyamum. Masalahnya sekarng kan ada air.”
Matilah, pikir saya. Hanya sekitar lima menit sebelum giliran itu tiba, saya memutuskan nekad barisan untuk meminta izin kepada askar mengambil air wudhu dengan catatan diizinkan masuk lagi. Ketika hendak keluar, petugas pagar betis menghalang-halangi. Tetapi saja jelaskan bahwa saya punya pas dan hendak berwudhu, dia meinta saya melapor sendiri ke komandannya. Berhasil ! Maka tanpa pikir panjang, saya pun lari menembus kerumunan jamaah dengan telanjang kaki sambil menyingsingkan legan baju. Apa yang saya lakukan ini mengudang perhatian jamaah di jalan yang saya lewati. Mereka pikir saya mau menyia-nyiakan kesempatan emas, yang belum tentu orang Mekah sendiri pun bisa merasakannya.
Begitu terburu-buru saya mengambil air wudhu di dekat sumur zamzam, sehingga sebagian baju dan celana panjang saya basah oleh cipratan air. Tetapi saya tak peduli. Dan lega bukan main saat perjuangan saya mendapatkan wudhu sambil terengah-engah membawa hasil. Namun saat sadar sebentar lagi saya akan bisa masuk ke dalam rumah Allah, perasaan saya kembali tak menentu. Karena kami, brangkali juga orang lain, memang tak pernah memimpikannya. Saya bahkan tak tak tahu apa yang akan saya perbuat sesampai di dalam nanti.
Benar saja. Begitu menginjakkan kaki di dalam kakbah, tanpa sebab yang jelas saya menangis sejadi-jadinya. Saya melihat hal sama dialami orang-orang di sekitar saya. Di dalam raungan yang gelap itu saya mendengar dengan jelas setiap orang menangis sesunggukan, karena perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Tetapi siapa dan mereka saya tidak tahu, karena yang bisa saya tidak bisa melihat dengan jelas dii ruang berukuran sekitar 7×7 meter yang remang-remang itu. Secara samar saya melihat beberapa benda, semacam guci tua terbuat dari emas, perak, atau entah apa tergantung di langit-langit kakbah. Di dekat satu-satunya tiang di tengah-tengah kakbah ada sebuah meja berukuran kira-kira 70×70 cm warna hijau, tempat diletakkannya neon batere. Di bagian dinding yang menghadap Hijr Ismail temboknya menjorok agak keluar, seperti tempat imam di masjid-masjid.
Suhu udara di dalam kakbah saat itu cukup panas. Mungkin karena bangunan batu yang selalu berselimutkan hitam itu selalu tertutup rapat dan jarang sekali dibuka untuk umum. Buktinya, bersamaan dengan rombongan Kepala Negara ada tujuh-delapan wanita Arab bercadar – tampaknya masih keluarga kerajaan – minta masuk ke dalam kakbah tanpa dihalang-halangi askar. Di antara para askar sendiri tampak yang ingin mendapat kesempatan serupa.
Sambil sesunggukan dan seluruh pakaian basah oleh peluh, saya coba memanfaatkan kesempatan langka ini untuk shalat sunah dua rakaat menghadap salah satu sisi tembok. Ya, arah kiblat di dalam kakbah ini memang berbeda dari tempat lain. Jika di luar orang shalat menghadap kakbah, di dalam ruangan justru membelakangi dengan masing-masing shalat menghadap keempat sisi tembok.
Selesai shalat selagi masih di dalam kakbah saya berusaha berdoa. Meminta apa pun keinginan yang terpikir saat itu. Tetapi lantaran waktunya tidak panjang, kami tidak bisa berlama-lama. Karena para askar yang dari tadi terus meminta semua orang untuk berburu-buru meninggalkan ruangan mengusir saya sambil berucap, “’Ruh.. ruh..” kata mereka sambil mendorong-dorong lengan saya.
Setelah apa yang terjadi saat itu begitu lega dan ringan langkah saya menuruni tangga. Dari atas tangga saya melihat orang-orang di bawah sana tampak iri dengan apa yang saya dapatkan. Barangkali ini memang hari keberuntungan kami. Sebagai rasa syukur, saya kembali melakukan shalat sunah di Hijr Ismail. Baru saja mau takbiratul ikhram, seorang jamaah – yang tampaknya berasal dari Indonesia – tiba-tiba berdiri di sebelah. Sambil mencuri-curi agar tidak terlihat petugas, orang itu berbisik ke telinga saya. “Mas..mas. Boleh saya pinjam tanda pengenalnya sebentar saja, nanti saya kembalikan.”
Tanpa dijelaskan, saya tahu dia ingin memanfaatkan kartu pengenal itu untuk bisa ikut masuk ke dalam kakbah. Mulanya saya ragu. Tetapi kemudian saya pikir, apa salahnya memberikan kesenangan kepada orang lain. Maka saya pun membiarkan orang itu memakai kartu pengenal tersebut, setelah sebelumnya melepas pas foto saya. Hitung-hitung mencari pahala dengan membahagiakan orang lain.(*)

My Family, My Love

Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat.
"Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya.
Ia berkata, "Maafkan saya juga. Saya tidak melihat Anda."
Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan.
Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda. Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh.
"Minggir," kata saya dengan marah.
Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.
Ketika saya berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku,
"Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan. Tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang.
Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu. Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."

Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes.
Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya.
Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?"
Ia tersenyum, "Aku menemukannya jatuh dari pohon. Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."

Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu. Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."
Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu. " Akupun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukaibunga-bunga ini, apalagi yang biru."

Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.
Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaankita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan? Investasikan waktu untuk keduanya secaraberimbang.

Kesetiaan Pak Suyatno

Based on True Story..

Dilihat dari usianya, beliau sudah tidak muda lagi. Usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam. Pak Suyatno, 58 tahun, kesehariannya dia isi dengan merawat istrinya yang sakit. Istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun.

Mereka dikarunia 4 orang anak. Di sinilah awal cobaan menerpa. Setelah istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu terjadi selama 2 tahun.
Menginjak tahun ketiga, seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang. Lidahnya pun sudah tidakbisa digerakkan lagi. Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja, dia gendong istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara, tapi Pak Suyatno selalu melihat istrinya tersenyum. Untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga siang hari dia bisa pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya, Pak Suyatno pulang memandikan dan mengganti pakaian istrinya. Selepas maghrib, dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang tanpa tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang. Bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan sabar dia merawat istrinya, bahkan sambil membesarkan keempat buah hati mereka. Sekarang, anak-anak mereka sudah dewasa. Tinggal si bungsu yang masih kuliah.

Pada suatu hari, keempat anak Pak Suyatno berkumpul di rumah orangtua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah, mereka tinggal dengan keluarga masing-masing. Pak Suyatno memutuskan mereka sendiri istri sekaligus ibu anak-anak itu. Yang diinginkan Pak Suyatno hanya satu: semua anaknya berhasil.

Dengan kalimat yg cukup hati-hati, anak yang sulung berkata. “Pak, kami ingin sekali merawat ibu. Semenjak kami kecil, kami melihat Bapakmerawat ibu tanpa ada sedikit pun keluhan keluar dari bibir Bapak. Bahkan, Bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.''
Dengan air mata berlinang, anak itu melanjutkan, “Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi. Kami rasa ibu pun akan mengijinkannya. Kapan bapak menikmati masa tua bapak, jika terus berkorban seperti ini? Kami sudah tidak tega melihat bapak seperti ini. Kami janji akan merawat ibu bergantian.”

Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak-anak mereka.
“Anak-anakku, jikalau hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi. Tapi ketahuilah, dengan adanya ibu kalian di sampingku, itu sudah lebih dari cukup. Dia telah melahirkan kalian.'' Sejenak kerongkongannya tersekat. ''Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta, yang tidak ada satu pun yang lebih berharga dari itu.''
''Coba kalian tanya ibumu, apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia. Apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang? Kalian menginginkan bapak yg masih diberi Allah SWT kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit?”

Meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno. Mereka juga melihat butiran-butiran kecil air jatuh dari pelupuk mata Ibu Suyatno. Dengan pilu, ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.
Suatu saat, Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi narasumber dalam acara Islami selepas shubuh. Pemirsa distudio mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno bagaimana mampu bertahan selama 25 tahun merawat istrinya yang sudah tidak bisa apa-apa. Pada saat itulah meledak tangis beliau, begitu pula dengan para tamu yang hadir di studio yang kebanyakan adalah kaum perempuan. Mereka tidak sanggup menahan haru saat mendengar Pak Suyatno bercerita:
“Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai karena Allah SWT, semuanya akan luntur. Saya telah memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya. Sewaktu dia sehat, dia dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan batinnya, bukan hanya dengan mata. Dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit, berkorban untuk saya karena Allah SWT (dengan melahirkan anak keempat), dan itu merupakan ujian bagi saya. Sehat pun belum tentu saya mencari penggantinya, apalagi dia sakit. Setiap malam, saya bersujud dan menangis. Sayadapat ceritakan kepada Allah di atas sajadah. Dan saya yakin, hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya….”

“Manusia yang terbaik adalah yang paling banyak membaca, paling bertakwa, paling sering beramar ma’ruf nahi munkar, dan paling gemarmenjalin hubungan silaturahmi.” (Muhammad SAW).

Tangan Ibu

Ketika ibu saya berkunjung, Ia mengajak saya untukBerbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuahGaun yang baru.
Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain. Dan saya bukanlah orang yang sabar. Walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut.Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun Wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya.
Seiring Hari yang berlalu, Saya mulai lelah Dan ibu saya mulai frustasi.Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, Ibu Saya mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri Dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali diBagian tepi lehernya. Dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian,
Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya. Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan olehpenyakit radang sendi. Dan oleh sebab itu dia tidak dapat Melakukannya. Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya.
Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari.
Setelah saya Mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke Kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya.
Perjalanan belanja kami telah berakhir. Tetapi Kejadian tersebut terukir Dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut. Terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya.
Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya. Dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk Saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.
Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu Saya, mengambil tangannya, menciumnya … Dan yang membuatnya terkejut, memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini.
Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah Membuat saya dapat melihat dengan Mata baru. Betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuhpengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.
Dunia ini memiliki Banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu Agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ibu…With Love to All Mother
thanks to whom sents this message

Jika Manusia Bertanya

dedicated to my friend, ita

Manusia BertanyaKenapa aku diuji ?
Qur’an Menjawab : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?(Al-Ankabuut:2)
Manusia BertanyaKenapa aku tidak diuji saja dengan hal-hal yang baik ?
Qur’an Menjawab : boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(Al-Baqarah : 216)
Manusia BertanyaKenapa aku diberi ujian seberat ini?
Qur’an Menjawab : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah : 286)
Manusia BertanyaBolehkah aku berputus asa ?
Qur’an Menjawab : ..dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.(Yusuf : 87)
Manusia BertanyaBagaimana cara menghadapi ujian hidup ini?
Qur’an Menjawab : Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.(Ali Imraan : 200)
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.(Al-Baqarah : 45)
Bagaimana menguatkan hatiku?
Qur’an Menjawab :..Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal..(At-Taubah : 129)
Manusia BertanyaApa yang kudapat dari semua ujian ini?
Qur’an Menjawab : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka..(At-Taubah : 111)

Menuju Titik Nol

BERITA ini sungguh mengejutkan. Seorang teman mengabarkan ayahnya terserang stroke. Mengejutkan, karena dia seorang dokter, yang tentunya paham dengan kesehatan. Pengalaman dan pengetahuan, dia ngelotok betul soal `do and don’t’ dalam segala hal yang terkait soal kesehatan. Lain dari itu, dia memiliki gaya hidup yang sederhana. Namun, apa mau dikata, Pak Dokter ini terserang stroke. Stroke adalah tersumbatnya aliran darah secara akut alias mendadak, biasanya disebabkan gumpalan darah. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga, setelah penyakit jantung dan kanker, namun merupakan penyebab kecacatan nomor satu. Awalnya memang penderitanya kebanyakan kaum tua. Namun belakangan ini, kita sering mendengar penderitanya pun datang dari kalangan muda. Intinya sih, mau tua atau masih muda, kalau sudah terjadi penyumbatan gumpalan darah yang menyebabkan pembuluh sobek atau terjadinya infeksi vaskuler, ya sok atuhlah, stroke pun datang menghampiri. Penyebab stroke antara lain karena kebiasaan merokok, tekanan darah tinggi, dan kegemukan. Satu pemicu utamanya adalah gaya hidup yang tidak sehat, umumnya penderita tidak mengontrol makanan yang masuk ke dalam tubuh. Lama-lama, makanan yang uenak tenan itu malah menjadi biang penyakit. Sret, satu urat tersumbat, stroke pun datang. Sekarang balik lagi pada kisah Pak Dokter. Semua gaya hidup sudah dijalani. Dia tidak memiliki korek api yang dipakainya untuk merokok. Penyakit pun, no way. Dalam soal makanan pun, ia selalu memilih makanan yang baik dan sehat. Olah raga pun ia lakukan dalam seminggu, walau tidak terlalu rutin. Lantas apa yang menyebabkan ia terkena stroke? Secara medis tak ditemukan tanda-tanda penyulut penyakit itu. Akhirnya muncul cerita ini. Sang teman menjelaskan sebab musababnya. Menurutnya, ayahnya sering kali menyimpan berbagai masalah yang ada di dalam hati. Ayahnya sering kali merasa jengkel dan dongkol dalam beberapa masalah, termasuk masalah sepele. Atau ia sering kali merasa sakit hati. Hal itu ia simpan sendiri di dalam hati. Tanpa disadari, perlahan-lahan kebiasaan ini berbuah petaka. Rupanya, inilah yang menyebabkan ayahnya mengalami penyempitan pembuluh darah di otak. Tidak ikhlas? Mungkin itu kata yang paling tepat. Sebuah keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita, memang seringkali menyebalkan dan sangat mengganggu. Kekalahan atau kegagalan, dan juga kehilangan, merupakan hal yang amat sulit untuk diterima. Akibatnya, kita pun berada dalam keadaan yang tidak stabil antara menerima dan menolak. Nah, bila menerima, artinya kita ikhlas. Sebaliknya, bila tidak, dia akan bersemayam di dalam hati. Tanpa terasa, dada pun terasa sesak. Itulah yang kita rasakan saat pacar memutuskan hubungan tanpa sebab, dus, malah tahu-tahu menikah dengan orang lain, atau mendapati pasangan berselingkuh, meski semua yang terbaik sudah kita berikan. Memang, untuk mengikhlaskan semua kekalahan, kegagalan atau kehilangan, bukanlah pekerjaan mudah. Bila dunia ini sepenuhnya dapat ikhlas dalam segala persoalan, pasti tidak pernah akan ada perang yang memakan ribuan atau jutaan korban jiwa. Bila semua orang ikhlas, tentu tidak pernah ada yang namanya ilmu santet. Riset pun menjelaskan bahwa satu kunci menuju hidup bahagia ialah menjaga hati agar selalu terbebas dari rasa kebencian. Dan, bersihkan pikiran dari segala kekawatiran. Jadi, belajarlah untuk menerima segala sesuatunya dengan hati yang lapang. Masih sulit? Pergilah ke hutan, berteriaklah di sana. Keluarkan segala kecewa di hati. Takkan ada yang terganggu. Kalau kejauhan, masuklah ke kamar mandi. Lalu tutup pintu. Tapi awas, jangan sampai tetangga tahu-tahu terbangun kaget dikira ada maling beneran atau kucing garong. Atau pergilah berenang, di dalam air, luapkan tangis. Di kubangan air, takkan pernah ada yang menduga bahwa Anda tengah menangis. Profesor Jeffrey Lohr, dari William Fulbright College of Arts and Sciences, menjelaskan bahwa berteriak memberikan sensasi pengendoran otot yang tegang karena kondisi stres. Sedangkan Dr. William Frey, dari University of Minnesota, menemukan bahwa menangis terbukti dapat membuat seseorang merasa lebih baik. Karena air mata yang keluar berfungsi melepaskan ketegangan saraf pada tubuh. Asal tentu saja bukan air mata buaya. Itu kalau Anda kesulitan mengeluarkan segala kekecewaan di dalam hati. Kembali lagi soal ikhlas. Lalu bagaimanakah agar kita bisa sepenuhnya ikhlas? Tanyalah dalam hati. Ikhlas sejatinya kondisi perasaan di dalam hati. Karena itu belajar ikhlas juga berarti belajar melihat dengan hati, mendengar dengan hati, dan tentunya, mengikuti kata hati. Menurut Erbe Sentanu, penulis buku ‘Quantum Ikhlas’, dalam kondisi ikhlas, otak memproduksi hormon serotonin dan endorfin yang menyebabkan seseorang merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Dalam zona ikhlas, bertebaranlah berbagai energi positif: rasa syukur, sabar, juga termasuk fokus. Kita pun tiba-tiba merasa penuh tenaga. Energi ikhlas ini lalu menyebar ke setiap bagian tubuh. Erbe Sentanu sendiri mempunyai kisah mengenai keikhlasan. Setelah enam tahun menikah, Erbe divonis dokter mengalami aspermatozoa. Suatu kondisi seseorang tidak akan dapat memiliki keturunan. Awalnya Erbe terkejut, tetapi ia ikhlas. Dalam penyerahan diri kepada Tuhan, Erbe membayangkan suatu hari nanti ia akan dikaruniai buah hati. Hingga suatu hari ia melakukan uji kualitas sperma. ”Tidak mungkin. Dari nol persen spermatozoa menjadi tiga puluh persen dalam tiga minggu? Tidak mungkin!” seru sang dokter terkaget-kaget ketika membaca hasil laboratorium. Kini Erbe memiliki putra bernama Shankara Premaswara. Pada akhirnya, ikhlas merupakan kata kunci untuk hidup sehat. Untuk menuju kestabilan hati, manusia memang perlu katup pelepas. Berteriak dan menangis merupakan satu jalan keluarnya. Setelah letih, hati dan kepala biasanya akan berkompromi. Mudah-mudahan, keikhlasan untuk melepas kekalahan dan kehilangan, yang akan kita peroleh. Agar hati menjadi netral dan bersih, seperti sebuah speedometer, pada akhirnya, ia kembali ke titik nol. Semoga.

Original Message From: Fahman El Hairy. Sent: Wednesday, September 03, 2008 10:15 AM. Subject: Menuju Titik Nol "

Empati

by: Andy F Noya


Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat sajidi kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas.Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelaskarena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetapmelayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Adayang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pulayang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.
Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari.Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jikamenemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidakterlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada.Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jikasaya terlalu asyik menyantap makanan.
Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan takterlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkansisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasasaja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat,pemandangan tersebut menjadi istimewa.
Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedangdibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang barusaja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yangberserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarikperhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekasmakanan.
Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan diatas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah.Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor olehtumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan.Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampahberserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisamakanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorangpelayan sekalipun.
Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisamakanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga memintaanak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya jugapernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaanteman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernahke luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika,sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayanterbatas karena tenaga kerja mahal.
Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita.Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit.Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinyaakan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya artibesar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untukmembersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka.Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkansampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.
Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sangbapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat.Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan,umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikanketeladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika sajasetiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainyahari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akanmerasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya.Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahalasal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku “Chicken Soup”, saya kerapmembayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa dibelakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pastiakan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu diabahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan viruskebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Sayaberharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.
Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orangsetiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yangAnda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepadaorang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata“terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian.Menurut dia, kata “terima kasih” merupakan “magic words” yang akanmembuat orang lain senang. Begitu juga kata “tolong” ketika kita meminta bantuanorang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.
Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet,bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hariistri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supirkendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. “Sementarakamu kan tidak mengejar setoran?” Nasihat itu diperoleh istri saya darisebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraanumum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.
Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuatorang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempatipada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari denganmembuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankanpekerjaan pelayan restoran.
Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelahmembayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuangpermen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaankesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.
Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak diantara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membukapintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jagaapakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang dibelakangnya terbentur oleh pintu tersebut.
Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidakmemberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah darihal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailahsekarang juga.

Jangan pernah berhenti berbuat baik

A true story

Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongandari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisabeberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar.
Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumahberikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorangwanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan,ia hanya berani meminta segelas air.
Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebutpastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya,“berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini ?”Wanita itu menjawab: “Kamu tidak perlu membayar apapun”.“Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan”kata wanita itu menambahkan.Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :” Daridalam hatiku aku berterima kasih pada anda.”
Sekian belas tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yangsangat kritis. Paradokter dikota itu sudah tidak sanggupmenanganinya.
Mereka akhirnya mengirimnya ke kotabesar, dimana terdapat dokterspesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.Dr. Howard Kelly dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat iamendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkaspancaran aneh pada mata dokter Kelly.Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit, menujukamar si wanita tersebut.
Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ialangsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembalike ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untukmenyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikanperhatian khusus pada kasus wanita itu.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperolehkemenangan.. . Wanita itu sembuh !!. Dr. Kelly meminta bagian keuanganrumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatankepadanya untuk persetujuan.
Dr. Kelly melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembartagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwaia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus dicicilseumur hidupnya.
Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, danada sesuatu yang menarik perhatuannya pada pojok atas lembar tagihantersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..“Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu..” tertanda, DR Howard Kelly.Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa: “Tuhan, terimakasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dantangan manusia.”
Sekarang terserah anda,anda dapat mengirimkan pesan cinta ini kepadaorang lain, atau abaikannya dan berpura-pura bahwa kisah ini tidakmenyentuh hati Anda.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

(dedicated for someone…..)


"De'... de'...
Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku."Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidurkembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontardari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.
Shubuh ini Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami limabulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak adakado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpikusemalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua sepertibiasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi,terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku.Orang yang aku harapkan akan memperlakukankuseperti putri hari ini cuma memandangku.
Alat shalat kubereskan dan aku kembaliberbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, danmengucapkan. Happy Birthday to Me... Happy Birthday to Me.... Bisik hatikuperih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku.Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dariini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-manadengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saataku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resort di malam dan hariulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segalakebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapanaku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku. .
"De... Ade kenapa?" tanya suamikudengan nada bingung dan khawatir.
Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalumembuka mata. Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuahbungkusan warna merah jambu. Adatatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggandisodorkannya kepadaku.
"Selamat ulang tahun ya De'..."bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kadoini... tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Darimana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku bukaperlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.
"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini.Nnnng... Nggak bagus ya de?" ucapnya terbata.
Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka secarik kartu kecil putih manis denganbunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambarMickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yangdiberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tibaaku malu, betapa tak bersyukurnya aku.
"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggakbisa ngasih apa-apa.... Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku yade'..." desahnya.
Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makansiangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakantetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku.Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itupikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masihaku pertanyakan.
"A' lihat aku...," pintaku padanya.Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk danmenenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinyamenyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasihdan ketulusan itu. "Tahu nggak... kamu ngasih aku banyaaaak banget,"bisikku di antara isakan. "Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang samaistrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya..Kamu ngasih aku dede'," senyumku sambil mengelus perutku. "Kamungasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama....."bisikku dalam cekat.
Terbayang wajah mama mertuaku yangperhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. "Kamu yangselalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalutelepon setiap siang," isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudiantangisnya semakin kencang di pelukanku.
Rabbana... mungkin Engkau belum memberikankami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernahaku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akansebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,fasilitas-fasilitas . Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapaaku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikannilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikanuntukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…….