Salah satu obsesi umat Islam yang tengah menunaikan ibadah di Tanah Suci, khususnya Masjidil Haram, adalah bisa mencium Hajar Aswad. Batu hitam - konon dari Surga - yang tertanam di sudut Kakbah. Untuk mendapatkan kenikmatan ruhani itu perlu perjuangan fisik yang cukup berat, karena harus siap berebut dan saling dorong dengan orang-orang ribuan orang yang ingin melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana rasanya jika kita tidak saja bisa mencium Hajar Aswad, tetapi juga berkesempatan masuk ke dalam Kakbah. Hal yang tidak sembarang orang - termasuk warga Mekkah sendiri - mempunyai kesempatan untuk merasakannya ?
Alhamdulillah, atas berkah dari Allah, saya pernah merasakan kenikmatan itu ketika mendampingi Presiden Soeharto sebagai tamu Kerajaan Arab Saudi, menunaikan ibadah umrah sebelum kembali ke tanah air dari serangkaian kunjungan kenegaraan pada akhir Oktober 1995.
Cerita di bawah ini adalah kliping tulisan saya yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di bawah judul ”Pengalaman Masuk dan Shalat di Dalam Kakbah". Selamat membaca..
SETELAH penerbangan yang melelahkan selama tigabelas setengah jam dari bandara Johan Adolf Pengel, Pramaribo, Suriname, Senin (30/10) pagi pukul 08.30, roda pesawat Garuda DC-10 yang kami tumpangi mulai menyentuh landasan bandara Jeddah. Tepuk tangan membahana di dalam pesawat, menyukuri kami telah tiba dengan selamat di pintu gerbang menuju kota Mekah, setelah selama dua pecan mengikuti perjalanan Presiden Soeharto menghadiri KTT XI GNB di Kolombia, HUT 50 tahun PBB di New York, kunjungan ke Suriname, dan diakhiri umrah di Tanah Suci.
Saat pesawat melakukan taxiing, berjalan lambat menuju tempat parker, dari jendela terlihat sebuah bangunan terbuka beratap tenda-tenda putih. Satu-satunya bangunan yagn berdiri di antara pasir panas di tepi landasan adalah tempat penampungan sementara jamaah haji sebelum diangkut ke Tanah Suci.
Beberapa saat setelah berhenti, kami, para wartawan dan belasan anggota Paspampres, dipersilahkan lebih dulu menuruni tangga pesawat menuju sebuah gedung megah. Berbeda dari suhu di luar yang terasa panas meski masih pagi, di ruang berukuran sekitar 20×20 meter itu AC terasa sejuk. Lantainya beralaskan karpet beludu cokelat, sedangkan di dinding-dindingnya yang tinggi puluhan lukisan besar bercerita tentang keagungan budaya Arab.
Ketika saya amati dengan cermat, ternyata ia bukan lukisan biasa. Lukisan itu dibuat dari serpihan kaca atau keramik berukuran 0,5×1 cm yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah lukisan mahakarya.
Umrah Dulu
Seperempat jam di ruangan itu kami manfaatkan untuk berfoto-roto sebelum minibus Konjen RI di Jeddah menjemput kami. Para wartawan didrop di Holiday Inn, 200 m dari guest house tempat rombongan Presiden menginap.
Kami tak sempat berisitirahat lama. Karena setelah pembagian gamar, jam 12.00 langsung dibrifing petugas Konjen tentang tatacara menunaikan ibadah umrah, termasuk bagaimana mengenakan kain ikhram. Wartawan memang diberikan kesempatan lebih dulu menunaikan umrah, dengan harapan malamnya bisa mengikuti umrah Presiden sambil meliput.
Pukul 14.00, setelah semua mengerjakan salat sunah di kamar masing-masing, kami berangkat menuju Mekah lengkap dengan pakaian ikhram. Jarak 75 km Jeddah – Mekah kami tempuh dalam waktu satu setengah jam. Sepanjang perjalanan, sembari menyaksikan pemandangan alam Negara itu kami tak henti-hentik membaca talbiyah.
Rombongan tiba di Tanah Suci tepat waktu asar. Setelah menitipkan tas berisi pakaian ganti di sebuah hotel di depan Masjidil Haram, kami bersama-sama menuju rumah Allah untuk sembahyang asar. 23 wartawan yang ikut dibagi dua kelompok, yang masing-masing dipandu seorang muthawif dari Konjen.
Selesai shalat asar, kami mulai melakukan thawaf dari batas sudut Hajar Aswad. Sebenarnya kami ingin mengawalinya dengan mencium Hajar Aswad. Tapi karena benda sakral itu dikerubuti ratusan jamaah yang beradu otot untuk hal yang sama, niat kami urungkan.
Satu demi satu putaran kami lewatkan dengan menirukan doa thawaf yang dilafalkan muthawif atau membaca buku pegangan yang disediakan. Usai thawaf kami menuju bukit Safa untuk melakukan Sa’i, berlari-lari kecil antara Safa-Marwa yang melambangkan perjuangan Siti Hajar dalam upaya mendapatkan air minum untuk putranya Ismail yang kehausan di padang pasir. Sa’i pun kami akhiri dengan menggunting beberapa helai rambut sebagai tahalul.
Meskipun dengan selesainya tahalul semua rukun umrah telah terpenuhi, rasanya belum lengkap bila kesempatan beradai di Masjidil Haram tidak dimanfaatkan untuk mencium Hajar Aswad. Maka untuk menembus ribuan jamaah, saya mencoba mengikuti arus mereka sambil berangsur mendekati dinding kakbah.
Alhamdulillah. Sesampai di Rukun Yamani, saya bverhasil antre di antara puluhan jamaah. Hampir 20 menit saya berusaha mempertahankan posisi ini dengan berpegang erat pada tali kiswah, kain hitam penutup Kakbah. Sampai akhirnya tiba giliran mencium Hajar Aswad. Hanya beberapa detik itu terjadi. Sebab beberapa kepala yang sudah berada di depan Hajar Aswad begitu bernafsu mendorongkan mulutnya ke batu hitam itu.
Itu merupakan klimaks dari adu otot kami. Sebab berikutnya dengan leluasa saya bisa memperoleh tempat untuk berdoa di Multazam, meski tanpa berpegang kaki pintu kakbah seperti dilakukan orang-orang. Demikian pula tempat shalat di dekat Hijr Ismail.
Selesai umrah, sambil menunggu saat maghrib tiba yang tinggal setengah jam lagi kami manfaatkan untuk minum dan berwudhu dengan air zamzam yang tersedia di keran-keran dekat sumur. Memikirkan tentang sumur yang lahir dari jejakan kaki Nabi Ismail ini mengingatkan kita akan kebesaran Allah SWT. Betapa tidak. Sumur ini nyaris tidak sedetikpun berhenti diambil airnya. Bahkan jutaan umat Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia selalu membawa pulang berliter-liter air untuk dibawa pulang. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa sumur itu mulai mengering.
Kami baru kembali ke hotel untuk berganti pakaian lepas shalat magrhir, dan kembali lagi untuk shalat isya. Sambil menunggu kedatangan Presiden dan rombongan, kami berjalan di pertokoan sekitar Masjidil Haram untuk mencari sekedar oleh-oleh.
Rombongan Kepala Negara akhirnya datang pukul 21.00. Tapi sejak satu jam sebelumnya puluhan petugas keamanan Kerajaan Arab Saudi dikerahkan di lokasi. Mereka membuat pagar betis mulai dari gedung tempat tamu negara diterima hingga pintu utama Masjidil Haram.
Melihat rombongan Presiden hampir masuk Masjidil Haram, kami buru-buru menitipkan barang bawaan ke resepsionis hotel dan kembali dengan kamera. Celakanya kamera tak boleh dibawa masuk ke dalam. Karenanya saat Presiden mulai masuk melalui King Abdul Aziz Gate, kamera saya titipkan ke seorang teman. Karena terdesak waktu, saya tidak pedulu bahwa saya sudah kehilangan wudhu saat jalan-jalan tadi. Sebab jika sampai terlambat, saya khawatir tidak bisa ikut masuk, meski sudah dipekali tanda pengenal khusus rombongan kepresidenan bertuliskan R2.
Saat memasuki pintu Masjidil Haram, seluruh rombongan yang dipandu H Muhaimin dari Konjen RI di Jeddah langsung membaca doa; Allahumma antassalaam, waminkas salaam dst. Begitu Presiden mendekati kakbah, ratusan atau bahkan ribuan jamaah yang malam itu sedang melakukan thawaf “dibersihkan” untuk memberikan prioritas pada rombongan Tamu Negara. Alhasil, mereka hanya bisa berthawaf dari luar pagar betis, pada radius sekitar 7m dari kakbah.
Sebelum mengawali thawaf, Presiden Soeharto terlebih dulu mencium Hajar Aswad, diikuti Ibu Tien, Mbak Tutut, Indra Rukmana, Bambang dan Halimah Trihatmodjo serta cucu-cucu Presiden, baru dususul anggota rombongan lainnya. Menteri yang mengikuti thawaf kali ini adalah Menag Tarmizi Taher, Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Moerdiono.
Dari tujuh putaran thawaf, tercatat empat kali Presiden mencium Hajar Aswad. Setelah menyelesaikan thawafnya, mereka shalat dua rakaat dan berdoa sambil mencium kiswah di Multazam. Saat itulah sekitar sepuluh askar, satpamnya Masjidil Haram menyiapkan sebuah tangga terbuat dari kayu di bawah pintu kakbah. Tangga setinggi dua meter itu bentuknya mirip dengan tangga untuk menaiki pesawat terbang.
Mengetahui adanya tangga yang disiapkan untuk memasuki Kakbah, para jamaah yang tengah melakukan thawaf serentak menghentikan kegiatannya. Jumlah mereka yang berjubel di sisi pintu bangunan hitam makin lama makin bertambah banyak. Mereka makin terpaku saat empat petugas di puncak tangga bahu-membahu menyibakkan kain kiswah penutup pintu, yang agaknya cukup tebal dan berat.
‘’Allahu akbar !’’ begitu mulut para jamaah berteriak spontan ketika dari balik kain itu terlihat jelas pintu berlapis emas berukuran sekitar 1,5×4 meter berhias kaligrafi huruf Arab. Mereka makin histeris lagi ketika pintu setebal genggaman tangan orang dewasa itu dibuka, sekalipun yang tampak hanya ruang gelap tanpa penerangan. Sambil menangis histeris mereka berulangkali meneriakkn “Allahu akbar” dan “Subhanallah” seraya menepuk-nepuk kepalanya dan sesekali menengadahkan kedua telapak tangannya menghadap kakbah.
Dari bawah, seorang petugas membawa sebuah neon baterei diikuti sejumlah rekannya. Dengan penerangan darurat itu mereka membersihkan lantai kakbah dari debu sebelum akhirnya mempersilahkan Pak Harto dan rombongan mengikuti mereka masuk ke dalam. Rupanya tidak mudah mengatur rombongan yang jumlahnya tak lebih dari seratus orang ini untuk tidak berebut. Sampai-sampai Menlu Ali Alatas harus ditarik tanggannya dari atas agar bisa mencapai ujung tangga.
Tadinya kami pikir mereka hanya akan memberikan kesempatan kepada Presiden dan keluarganya, mengingat kapasitas ruang di dalam kakbah memang tidak memungkinkan untuk menampung seluruh rombongan sekaligus. Tetapi dari isyarat yang kami tangkap, para askar minta rombongan lain tenagn dan tidak berebut, karena semua yang memiliki tanda pengenal dari Konjen akan diberi kesempatan yang sama.
‘’Suwaiyya.. suwaiyya…. All of you will be gived chance to entrance,’’ kata seorang askar mencoba menjelaskan dalam bahasa Inggris sembari meraptkan jari-jari tangannya, meminta bersabar.
Sampai di sini perasaan saya jadi tidak menentu. Pertama, karena berarti saya juga akan memperoleh kesempatan yang jarang diperoleh jemaah mana pun. Kedua, karena saya justru dalam keadaan batal. Menit demi menit menunggu giliran tersebut saya terus dihantui pilihan; rugi besar bisa masuk ke dalam kakbah tetapi tidak bisa shalat di dalamnya, atau keluar untuk mengambil air wudhu dengan risiko tidak bisa masuk lagi ke dalam barisan.
Saya sempat bertanya kepada pembimbing umrah yang berdiri di samping apakah saya bisa bertayamum. Ia terdiam sejenak. Tetapi apa jawabnya kemudian ? “Kalau persoalannya tidak ada air, boleh saja tayyamum. Masalahnya sekarng kan ada air.”
Matilah, pikir saya. Hanya sekitar lima menit sebelum giliran itu tiba, saya memutuskan nekad barisan untuk meminta izin kepada askar mengambil air wudhu dengan catatan diizinkan masuk lagi. Ketika hendak keluar, petugas pagar betis menghalang-halangi. Tetapi saja jelaskan bahwa saya punya pas dan hendak berwudhu, dia meinta saya melapor sendiri ke komandannya. Berhasil ! Maka tanpa pikir panjang, saya pun lari menembus kerumunan jamaah dengan telanjang kaki sambil menyingsingkan legan baju. Apa yang saya lakukan ini mengudang perhatian jamaah di jalan yang saya lewati. Mereka pikir saya mau menyia-nyiakan kesempatan emas, yang belum tentu orang Mekah sendiri pun bisa merasakannya.
Begitu terburu-buru saya mengambil air wudhu di dekat sumur zamzam, sehingga sebagian baju dan celana panjang saya basah oleh cipratan air. Tetapi saya tak peduli. Dan lega bukan main saat perjuangan saya mendapatkan wudhu sambil terengah-engah membawa hasil. Namun saat sadar sebentar lagi saya akan bisa masuk ke dalam rumah Allah, perasaan saya kembali tak menentu. Karena kami, brangkali juga orang lain, memang tak pernah memimpikannya. Saya bahkan tak tak tahu apa yang akan saya perbuat sesampai di dalam nanti.
Benar saja. Begitu menginjakkan kaki di dalam kakbah, tanpa sebab yang jelas saya menangis sejadi-jadinya. Saya melihat hal sama dialami orang-orang di sekitar saya. Di dalam raungan yang gelap itu saya mendengar dengan jelas setiap orang menangis sesunggukan, karena perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Tetapi siapa dan mereka saya tidak tahu, karena yang bisa saya tidak bisa melihat dengan jelas dii ruang berukuran sekitar 7×7 meter yang remang-remang itu. Secara samar saya melihat beberapa benda, semacam guci tua terbuat dari em
as, perak, atau entah apa tergantung di langit-langit kakbah. Di dekat satu-satunya tiang di tengah-tengah kakbah ada sebuah meja berukuran kira-kira 70×70 cm warna hijau, tempat diletakkannya neon batere. Di bagian dinding yang menghadap Hijr Ismail temboknya menjorok agak keluar, seperti tempat imam di masjid-masjid.
Suhu udara di dalam kakbah saat itu cukup panas. Mungkin karena bangunan batu yang selalu berselimutkan hitam itu selalu tertutup rapat dan jarang sekali dibuka untuk umum. Buktinya, bersamaan dengan rombongan Kepala Negara ada tujuh-delapan wanita Arab bercadar – tampaknya masih keluarga kerajaan – minta masuk ke dalam kakbah tanpa dihalang-halangi askar. Di antara para askar sendiri tampak yang ingin mendapat kesempatan serupa.
Sambil sesunggukan dan seluruh pakaian basah oleh peluh, saya coba memanfaatkan kesempatan langka ini untuk shalat sunah dua rakaat menghadap salah satu sisi tembok. Ya, arah kiblat di dalam kakbah ini memang berbeda dari tempat lain. Jika di luar orang shalat menghadap kakbah, di dalam ruangan justru membelakangi dengan masing-masing shalat menghadap keempat sisi tembok.
Selesai shalat selagi masih di dalam kakbah saya berusaha berdoa. Meminta apa pun keinginan yang terpikir saat itu. Tetapi lantaran waktunya tidak panjang, kami tidak bisa berlama-lama. Karena para askar yang dari tadi terus meminta semua orang untuk berburu-buru meninggalkan ruangan mengusir saya sambil berucap, “’Ruh.. ruh..” kata mereka sambil mendorong-dorong lengan saya.
Setelah apa yang terjadi saat itu begitu lega dan ringan langkah saya menuruni tangga. Dari atas tangga saya melihat orang-orang di bawah sana tampak iri dengan apa yang saya dapatkan. Barangkali ini memang hari keberuntungan kami. Sebagai rasa syukur, saya kembali melakukan shalat sunah di Hijr Ismail. Baru saja mau takbiratul ikhram, seorang jamaah – yang tampaknya berasal dari Indonesia – tiba-tiba berdiri di sebelah. Sambil mencuri-curi agar tidak terlihat petugas, orang itu berbisik ke telinga saya. “Mas..mas. Boleh saya pinjam tanda pengenalnya sebentar saja, nanti saya kembalikan.”
Tanpa dijelaskan, saya tahu dia ingin memanfaatkan kartu pengenal itu untuk bisa ikut masuk ke dalam kakbah. Mulanya saya ragu. Tetapi kemudian saya pikir, apa salahnya memberikan kesenangan kepada orang lain. Maka saya pun membiarkan orang itu memakai kartu pengenal tersebut, setelah sebelumnya melepas pas foto saya. Hitung-hitung mencari pahala dengan membahagiakan orang lain.(*)